Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Jurnalistik adalah hal-hal yang menyangkut
kewartawanan dan persuratkabaran. Sementara Jurnalis atau Wartawan
adalah orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita di surat kabar
dan media massa lainnya.
Secara etimologis, kata “jurnalistik” atau “journalistic” berasal dari kata journal yang dalam Bahasa Inggris
berarti laporan atau catatan, lalu dari kata du jour yang dalam Bahasa Perancis berarti hari atau catatan
harian. Sementara dalam Bahasa Belanda, journalistiek
artinya “penyiaran catatan harian”.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa jurnalistik adalah
catatan mengenai kejadian sehari-hari atau yang sekarang kita kenal sebagai
berita (news). Berita adalah laporan
peristiwa yang dipublikasikan melalui media massa kepada khalayak.
Sementara itu menurut Roland E. Wolseley, Jurnalistik adalah pengumpulan, penulisan,
penafsiran, pemrosesan, dan penyebaran informasi umum, pendapat pemerhati,
hiburan umum secara sistematis dan dapat dipercaya untuk diterbitkan pada surat
kabar, majalah, dan disiarkan di stasiun siaran.
Wartawan atau jurnalis adalah
seseorang yang melakukan jurnalisme atau
orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya
dikirimkan/dimuat di media massa secara
teratur. Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam
laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif
dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.
Banyak orang mengira jurnalis sama
dengan reporter. Yaitu orang yang
mencari dan mengumpulkan informasi untuk akhirnya dilaporkan dalam bentuk
laporan, berita atau cerita. Namun hal ini tidak benar karena reporter tidak
meliputi tipe jurnalis lainnya seperti fotografer maupun editor.
Aktivitas utama dalam kegiatan
jurnalistik adalah meliput, mengolah dan menyajikan informasi kepada khalayak. Atau
bisa dikatakan sebagai menyampaikan/melaporkan suatu kejadian dengan menyatakan
apa, siapa, dimana, kapan, mengapa dan bagaimana (yang dalam Bahasa Inggris
disebut 5W + 1H). Jurnalistik meliputi beberapa media seperti koran, majalah, televisi,
radio dan internet.
Sekarang ini kegiatan jurnalistik
mulai banyak diminati oleh masyarakat luas. Khususnya para generasi muda yang
ingin ikut ambil bagian dalam upaya menyajikan berita-berita yang berkualitas. Sehingga
saat ini banyak muncul Perguruan Tinggi maupun ekstrakurikuler di
sekolah-sekolah yang dikhususkan untuk mempelajari tentang bidang jurnalistik.
Jurnalisme selalu menarik siapapun
untuk ikut berpartisipasi didalamnya. Dengan bantuan kamera, gambaran tentang
apa yang terjadi di lingkungan sekitar makin mudah untuk diceritakan kepada
masyarakat luas. Sebuah foto akan melengkapi tulisan jurnalis dalam melaporkan
sebuah kejadian atau peristiwa.
Tanpa memandang jenis media, istilah jurnalis membawa
konotasi atau harapan profesionalitas dalam membuat laporan, dengan
pertimbangan kebenaran dan etika. Kegiatan kewartawanan diatur dengan Undang-Undang
Pers Nomor 40 Tahun 1999 yang dikeluarkan Dewan Pers dan
Undang-Undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dikeluarkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia atau KPI
Menurut Anne Ahira dalam websitenya
yaitu www.anneahira.com, “Jurnalisme merupakan
dunia yang penuh warna. Perjuangan para pelakunya, yang biasa disebut jurnalis
untuk bergelut di dunia jurnalisme ini cukup berliku. Pada dasarnya jurnalisme merupakan sebuah ‘ilmu
bercerita’, menceritakan apapun yang dibutuhkan oleh masyarakat luas, bahkan
sekedar pengalaman yang sifatnya pribadi.”
Surat kabar yang pertama kali terbit
di dunia adalah Acta Diuma yang terbit di tahun 59 SM. Acta Diuma terbit pada Zaman Julius Caesar di kota Roma. Surat kabar
ini berisi keterangan dari istana (semacam siaran pers) yang ditulis di sembarang
benda karena kertas belum ditemukan.
Surat
kabar yang mulai menggunakan kertas dan lebih terperinci adalah Journal An Sou
de Nouvelle yang terbit di Perancis pada masa Napoleon Bonaparte, abad ke-17,
berisi tentang perjalanan tentara Napoleon dari Paris menuju Napoli di Italia.
Di Indonesia, perkembangan kegiatan
jurnalistik ini diawali oleh Belanda. Beberapa pejuang kemerdekaan juga
memanfaatkan kegiatan jurnalistik dalam memperjuangkan kemerdekaan. Di era
inilah beberapa media cetak seperti Bintang
Timoer, Bintang Barat, Java Bode dan Medan Prijaji terbit. Kemudian pada
masa pendudukan Jepang, hanya ada lima
media yang mendapat izin terbit. Mereka adalah; Asia Raja, Tjahaja, Sinar
Baru, Sinar Matahari, dan Suara
Asia.
Pada masa kekuasaan
presiden Soeharto,
banyak terjadi pembreidelan media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh kentara dalam
sensor kekuasaan ini. Kontrol ini dipegang melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal inilah yang kemudian
memunculkan Aliansi Jurnalis Independen yang mendeklarasikan diri di Wisma
Tempo Sirna Galih, Jawa Barat.
Beberapa aktivisnya dimasukkan ke penjara.
Titik
kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media
massa yang muncul kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi
profesi.
“Dari pengalaman pribadi seorang jurnalistik,
‘jiwa’ dari jurnalisme akan tetap terbawa. Pengalaman jurnalisme seseorang
sedikit banyak pasti akan memberikan sebuah cerita tersendiri bagi pembacanya. Cerita
tersebut bukan sekedar cerita bualan. Nilai-nilai jurnalisme sedikit banyak
pasti terbawa.” Demikian pula yang dituliskan Anne Ahira dalam websitenya.
yosh
BalasHapushai :v /
BalasHapus